Jumat, 10 Februari 2012
Sahabat Dalam Timbangan AL-QURAN
Marilah kita perhatikan kembali ayat-ayat Al-Quran, yang dikutip oleh Muhammad bin Abdil Wahhab, dalam keseluruhan ayatnya. Ayat-ayat yang disebutkannya selalu dijadikan dalil oleh Ahlus Sunnah untuk membenarkan konsep ‘Adâlat al-Shahâbah, seperti yang diterangkan oleh Al-Razi, Ibn Hajar, dan Ibn al-Atsir di atas.
Al-Fath 18
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Ayat ini tidak menunjukkan ridha Allah kepada semua sahabat pada semua waktu. “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon” Menurut kamus-kamus bahasa Arab (Lth, T, S, M, L, Mughni, K), kata إِذْ menunjukkan satu waktu di masa lalu, seperti dalam firman Allah “wadzkurû idz kuntum qalîlan” (Al-Quran 7:84); atau “wa idz qâla Rabbuka lil malâikat” (Al-Quran 2:); atau “wadzkurû ni’matallahi ‘alaykum idz kuntum a’dâ-an” (Al-Quran 3:98). Karena idz itu selalu menunjukkan waktu tertentu, kalau sesudah kata idz ini ada kata waktu, orang Arab menyambungkan kedua kata itu seperti dalam kata yawmaidzin, hinaidzin, laylataidzin, ghadâtaidzin, waqtaidzin, sa’ataidzin,dan sebagainya. Dalam struktur kalimat kata idz ini bisa bersambung dengan kata benda atau kata ganti, fi’l madhi dan fi’l mudhari’, walaupun tetap menunjukkan satu waktu di masa lalu. Al-Quran dengan indah menggambarkan ketiga struktur idz ini dalam firmanNya Al-Quran 9:40:
إِلا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Walhasil, ayat ini tidak bisa dijadikan dalil tentang keadilan semua sahabat; tapi hanya kepada sebagian sahabat dan hanya pada waktu mereka berjanji setia. Ridha Allah tentu tidak meliputi sahabat-sahabat yang melanggar janji seperti disebutkan dalam Al-Fath 10: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”
Semua ahli tafsir sepakat bahwa al-Fath 10 dan al-Fath 18 berkaitan dengan perjanjian Hudaybiyah. Ibnu Katsir malah membuat catatan panjang tentang Perjanjian Hudaybiyah pada rangkaian ayat-ayat ini (Ibn Katsir, 4:185-200). Ada beberapa peristiwa yang penting kita catat tentang perjanjian Hudaybiyah dalam hubungannya dengan adalat al-shahabah.
Sebab terjadinya bay’at.
Diriwayatkan oleh ‘Urwah. Ia berkata: Ketika Nabi saw sampai di Hudaybiyah, orang Quraisy terkejut dengan kedatangan Nabi. Rasulullh saw ingin mengutus salah seorang di antara sahabatnya. Ia memanggil Umar bin Khathab untuk diutus menemui mereka. Tapi Umar berkata: Ya Rasulallah, saya tidak aman (Dalam riwayat Ibn Katsir, “saya takut akan perlakuan orang Quraisy terhadap diriku”). Di Makkah tidak seorang pun di antara Bani Ka’ab yang akan membelaku jika aku disakiti. Utuslah Utsman, karena ia punya banyak keluarga di kalangan mereka. Ia akan bisa menyampaikan apa yang engkau kehendaki. Kemudian Rasulullah saw memanggil Utsman dan mengutusnyamenemui orang Quraisy. Beliau bersabda: Beritahukan kepada mereka bahwa kami tidak datang untuk berperang. Kami datang untuk umrah dan ajaklah mereka kepada Islam. Beliau juga memerintahkan Utsman untuk menemui laki-laki dan perempuan di Makkah yang mukmin, memasuki rumah mereka dan meberikan kabar gembira tentang Kemenangan. Ia juga harus memberitakan bahwa sebentar lagi Allah akan memunculkan agamanya di Makkah. Mereka tidak perlu lagi menyembunyikan imannya.
Berangkatlah Utsman menemui orang Quraisy dan mengabari mereka. Orang musyrik menahan Utsman. Rasulullah saw memanggil mereka untuk bai’at. Penyeru Rasulullah saw berseru: Ketahuilah, Ruh Qudus telah turun kepada Nabi saw dan memerintahkannya untuk mengambil bai’at. Keluarlah kalian semua, atas nama Allah, berbaiatlah. Kaum muslimin beramai-ramai berbaiat kepada Rasulullah saw di bawah pohon. Orang Quraysy ketakutan. Mereka melepaskan tahanan kaum muslimin dan meminta untuk berdamai.” (Al-Durr al-Mantsur 7:522-523). Perjanjian damai ini dikenal sebagai Shulh al-Hudaybiyyah, terjadi pada tahun keenam Hijriah. Pembaiatannya dikenal sebagai Bay’at al-Ridhwan.
‘Umar meragukan kenabiyan Rasulullah saw.
Perjanjian damai itu –seperti kita ketahui- terasa oleh para sahabat sebagai perjanjian yang tidak adil dan merugikan kaum muslim. Al-Durr al-Mantsur 7:527-532 meriwayatkan hadis yang panjang tentang protes para sahabat terhadap perjanjian ini. Di antara yang protes dengan penuh kemarahan adalah Umar bin Khathab. Kita dengarkan ia bertutur: “Demi Allah, belum pernah aku meragukan (kenabiyan Rasulullah saw) sejak aku Islam kecuali hari itu. Aku mendatangi Nabi saw. Aku berkata: Bukankah engkau Nabi Allah? (Dalam Al-Bukhari 2:81, Kitab al-Syuruth, Umar bertanya: Bukankah engkau Nabi yang sebenarnya?) Ia berkata: Benar! Aku berkata: Aku berkata: Bukankah kita dalam kebenaran dan musuh kita dalam kebatilan? Ia berkata: Benar! Aku berkata: Kenapa kita harus menghinakan diri dalam agama kita? Ia berkata: Sungguh, aku Rasulullah saw. Aku tidak akan membantahNya. Allah akan menolongku. Aku berkata: Bukankah engkau pernah mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Baitullah dan bertawaf di sana? Ia berkata: Benar. Tapi apakah aku memberitahukan kepada kamu bahwa kamu akan datang ke Baitullah tahun ini? Aku menjawab: Tidak Ia berkata: Sungguh kamu akan datang ke Baitullah dan kamu akan bertawaf di situ. (Dalam Shahih Muslim, 2, Bab “Shulh al-Hudaybiyah” disebutkan “Umar meninggalkan Nabi saw dalam keadaan yang tidak bisa mengendalikan amarahnya –fa lam yashbir mutaghayyidhan- dan berkata: ) Ya Aba Bakr, Betulkah Nabi ini Nabi yang sebenarnya? Ia berkata: Benar. Betulkah kita dalam kebenaran dan musuh kita dalam kebatilan? Ia berkata: Benar. Kalau begitu, mengapa kita harus menghinakan diri dalam agama kita? Abu Bakar berkata: Ayyuhar Rajul, ia sungguh Rasulullah saw. Ia tidak akan menentang Tuhannya dan Dia akan menolongnya. Berpegang teguhlah kepada keputusannya, engkau akan menang sampai engkau mati.”
Dalam riwayat lain disebutkan: Tidak henti-hentinya Umar membantah ucapan Nabi saw; sehingga Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah berkata: Apakah tidak kaudengar, wahai putra Al-Kahthab, Rasulullah saw mengatakan apa yang ia katakan. Kami berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk (Sirah al-Halabiyah 2:706). Rasulullh saw berkata kepada Umar: Radhitu wa ta’ba. Aku ridha dan engkau membangkang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar